Tampilkan postingan dengan label Ruangan Jiwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ruangan Jiwa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 September 2024

Gen Z Belajar Ilmu Parenting

Ilustrasi karakter di anime Jujutsu Kaisen (Gojo Satoru, Fushiguro Megumi, dan Fushiguro Tsumiki) dengan tulisan, "Gen Z Belajar Parenting".

Buat apa sih belajar parenting? Sobat Gembira pernah bertanya-tanya tentang ini nggak?

Dulu aku berpikir, "Kenapa harus belajar parenting dari sekarang?", apalagi aku belum ada kepikiran untuk menikah dan punya anak. Masih lama, besok-besok belajarnya, kan bisa. Tapi semakin ke sini aku  justru merasa ilmu parenting itu sangat penting, bahkan relevan untuk kita yang belum punya anak sekalipun. Kenapa begitu? Karena ternyata hal ini erat hubungannya dengan kesehatan mental anak.

Kalau bicara soal kesehatan mental, kita sebagai Gen Z sangat peduli, kan Sobat Gembira? Soalnya Gen Z itu sangat concern dengan isu-isu kesehatan mental karena kita tahu bahwa kesehatan mental adalah fondasi utama dari kebahagiaan dan kesejahteraan seseorang, mulai dari masa kecil hingga dewasa. 

Apalagi semenjak punya keponakan dan sering menghabiskan waktuku untuk menjaga mereka, aku jadi lebih semangat belajar ilmu parenting lagi untuk ikut memastikan kesehatan mental keponakanku tetap terjaga dan bahagia. Soalnya lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, sehingga aku tidak mau malah menjadi pembawa pengaruh buruk kepada keponakan-keponakanku.

Sebagai generasi yang sering menghabiskan waktu di media sosial, tentunya aku belajar ilmu parenting dari sana mulai dari konten-konten kesehatan mental anak, gaya parenting, kegiatan bermain yang berpengaruh ke proses tumbuh kembangnya dan banyak hal lainnya. Konten ini biasanya banyak dijelaskan oleh para ahli seperti dari psikolog, psikiater, dokter anak, dan para mommy yang membagikan pengalamannya. 

Kenapa Belajar Parenting Itu Penting, Bahkan Sebelum Punya Anak?

Ilustrasi karakter di anime Jujutsu Kaisen (Gojo Satoru dan Fushiguro Megumi) dengan tulisan, "Kenapa Sebelum Punya Anak Harus Belajar Parenting?".

Saat ini aku merasa cukup aware dengan parenting dan sudah pula menerapkan gentle parenting. Misalnya, aku selalu berusaha mengajarkan dan mencontohkan langsung tiga kata sakti: maaf, tolong, dan terima kasih. Aku juga tidak pernah segan untuk meminta maaf ketika melakukan kesalahan, meskipun hanya kepada anak kecil. Ini karena aku percaya bahwa dengan memberi contoh, anak-anak akan belajar lebih efektif.

Tapi satu kebiasaan yang tidak bisa aku hilangkan adalah sifat jahil. Kurang afdol rasanya kalau tidak menjahili keponakanku sampai menangis. Jahilnya juga standar kok, misal menyembuyikan sandal, mainan atau pura-pura merebut ibunya dan setelahnya, aku akan langsung minta maaf.

Aku baru menyadari sikap jahilku membawa pengaruh yang buruk keponakanku. Walaupun niatnya hanya bercanda dan menurut kita ini cuma jahil kecil tapi kenyataan membawa dampak yang besar bagi perkembangan mereka. Selama ini pula setelah menjahili keponakanku, aku malah merasa mereka lebih dekat dan lengket kepadaku. Sungguh pemikiran yang keliru! Maka dari itu kita harus belajar parenting bahkan sebelum punya anak, Sobat Gembira!

Memang seperti apa dampak menjahili anak kecil?

Dampak Buruk Menjahili Anak Kecil

Aku baru menyadari ini setelah membaca cuitan dari dr. Andreas Kurniawan, SpKJ, seorang psikiater yang juga penulis buku Seorang Pria yang Melewati Duka dengan Mencuci Piring. Di media sosial X, dr. Andreas menjelaskan bahwa meskipun kita menganggap jahil sebagai sesuatu yang sepele, hal ini bisa memengaruhi kesehatan mental anak di masa depan.

Dalam cuitannya, dr. Andreas menekankan bahwa cara berpikir anak sangat berbeda dengan orang dewasa. "Anak itu bukan orang dewasa versi mini," tulisnya. Anak-anak melihat dunia secara konkret, apa adanya, tanpa kemampuan untuk memahami konsep abstrak atau candaan seperti yang kita pahami. Jadi, ketika kita bercanda dengan menyembunyikan barang atau berpura-pura meninggalkan mereka, anak kecil akan menangkapnya secara harfiah.

1. Perbedaan Cara Pikir Anak dengan Orang Dewasa

Salah satu poin penting yang disampaikan oleh dr. Andreas adalah bahwa anak-anak tidak bisa memahami konsep candaan seperti orang dewasa. Misalnya, jika kita mengatakan, "Kalau nggak makan, nanti nasinya nangis," anak kecil benar-benar akan berpikir bahwa nasi bisa menangis. Konsep ini mungkin lucu di mata kita, tapi bagi anak kecil, ini adalah kenyataan yang mereka serap dengan serius.

Ketika kita menjahili mereka, seperti berpura-pura meninggalkan atau menyembunyikan diri tanpa aba-aba, hal ini bisa membuat mereka merasa cemas. Anak kecil mungkin akan merasa takut kalau-kalau kita benar-benar meninggalkan mereka. Akibatnya, di masa depan, mereka bisa mengalami kecemasan berlebihan atau takut ditinggalkan oleh orang-orang terdekatnya.

Ilustrasi karakter di anime Jujutsu Kaisen (Gojo Satoru dan Fushiguro Megumi) dengan tulisan, "Stop Menjahili Anak Kecil!".

2. Anak Menyerap Informasi seperti Spons 

dr. Andreas juga menjelaskan bahwa otak anak-anak itu seperti spons, yang menyerap semua informasi di sekitarnya, termasuk candaan dan jahil-jahil yang kita lakukan. Mungkin kita berpikir bahwa hal-hal seperti bercanda tentang "Mama nanti pergi kalau kamu nakal" adalah hal yang biasa, tapi bagi anak, itu bisa meninggalkan jejak mendalam. 

Ancaman lainnya seperti  “nanti mama/papa tinggalin kamu”, “nanti orangtua pisah, kamu ikut siapa?” Bagi anak adalah hal yang nyata. Banyak dari kita yang saat dewasa mengalami ketakutan akan perpisahan atau penolakan karena pernah mendengar ancaman-ancaman semacam itu sewaktu kecil.

Bayangkan saja Sobat Gembira, berapa banyak anak yang tumbuh dengan rasa rendah diri karena sejak kecil sering dijahili atau dianggap lemah, jelek, atau pelupa.

3. Perbedaan Antara Jahil dan Permainan Petak Umpet

Jahil dengan sembunyi atau meninggalkan anak kecil tanpa aba-aba berbeda dengan permainan petak umpet. Main petak umpet bersama anak, itu baik karena ada briefing dan aturan permainan yang jelas. Dari permainan ini anak pelan-pelan akan belajar konsep “sesuatu bisa hilang dan akan kembali kalau dicari”.

Tapi, ketika kita tiba-tiba sembunyi tanpa briefing dulu, malah membuat anak menjadi takut. Hal ini akan membuat anak berpikir “Orang-orang bisa tiba-tiba hilang meninggalkan aku”

Masa Kecil adalah Fondasi Penting

Masa kecil adalah masa di mana anak-anak membutuhkan perlindungan, kenyamanan, dan rasa percaya. Meskipun tubuh mereka masih kecil dan lemah, otak mereka sudah bisa menangkap semua stimulasi di sekitarnya dengan sangat baik. Oleh karena itu, sebagai orang dewasa di sekitar mereka, kita punya tanggung jawab besar untuk menjaga kesehatan mental mereka, termasuk dengan cara stop menjahili mereka.

Yuk, Stop Menjahili Anak-Anak Sobat Gembira!

Jadi bagaimana Sobat Gembira? Sudah siap belajar parenting lebih dalam dan mulai menerapkan gentle parenting? Jangan lupa, stop menjahili keponakan, adik, atau anak-anak kecil di sekitar kita ya. Sejatinya anak kecil butuh rasa aman, bukan candaan yang bisa membuat cemas. Share juga, yuk, pengalaman parenting-mu!



Jumat, 16 Agustus 2024

Aphantasia: Kondisi Tidak Mampu Berimajinasi

 Sering kesulitan membayangkan cerita dari buku yang sedang dibaca?

Jika mengalaminya, bisa jadi Sobat Gembira mengidap Aphantasia.

Hah APHANTASIA? Sejenis penyakit kah? Apa itu berbahaya?

Tenang Sobat, tarik nafas dalam-dalam. Huuuft … lagi … huuuft.
Penulis baik hati dan rajin pekerti ini akan menjelaskan semuanya. Jadi harap bertenang diri dan jangan panik yups.

Setiap membaca sebuah buku khususnya fiksi, pasti secara tidak langsung kita akan ikut mengimajinasikan keadaan yang ada di dalam ceritanya, seperti bagaimana sih kondisi latar ceritanya? Hal apa yang tengah dialami tokoh? Konflik yang terjadi seberapa ruwetnya ya? Juga hal lain otomatis terbayang seakan-akan kita bisa menyaksikan dan merasakannya langsung. Duh kalau tokoh kesayangan menderita, rasanya kita ikutan kesiksa. Nah apalagi pas adegan bucin pasti Sobat Gembira juga ikutan cengar-cengir dan melting. Iya kan? Ngaku nggak?!🫡🏼😭

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels.com

Tapi ternyata tidak semua orang bisa lho membayangkan sesuatu. Beberapa orang ternyata punya kondisi kesulitan berimajinasi dan hal ini disebut sebagai Aphantasia.

Pengertian Aphantasia

Aphantasia atau bisa disebut mind blindness merupakan ketidakmampuan untuk membayangkan objek di dalam benak atau pikirannya padahal hal tersebut familiar. Kata aphantasia diambil dari kata phantasia, sebuah istilah Yunani klasik yang berarti imajinasi atau kemampuan melalui khayalan (gambaran atau representasi mental) dihadirkan kepada kita. Kata ini didefinisikan oleh Aristoteles pada penelitiannya tahun 1968 lalu. Huruf “a” dalam kata a-phantasia menunjukkan suatu ketidakadaan atau ketidakhadiran.

Istilah Aphantasia sendiri dikenalkan pada tahun 2015 oleh Profesor Adam Zeman dari Universitas Exeter. Penelitiannya ini didasari adanya laporan lebih dari 20 orang setelah membaca penelitian (Zeman, et al., 2010) mengenai gangguan pembentukan gambaran ke mata pikiran yang dialami oleh seorang pasien berumur 65 tahun setelah operasi penyakit jantung koroner. Mereka melaporkan mengalami hal yang sama tetapi dengan perbedaan telah mengalaminya seumur hidup.

Aphantasia sering sekali dijelaskan hanya mempengaruhi ingatan sistem visual, padahal sebenarnya bisa juga bisa berkombinasi mempengaruhi sensor yang lain (multysensory), seperti tidak bisa membayangkan suara, gerak, rasa, bau, dan sentuhan. Jadi pengalaman pengidap aphantasia akan berbeda-beda tentunya. Penelitian Zeman, et al. (2020) menyatakan meskipun pengidap aphantasia memiliki kesamaan tidak dapat mengimajinasikan sesuatu secara visual, hal ini tidak dapat dijadikan landasan setiap pengidap memiliki pengalaman yang sama.

Ini juga bukan artinya orang yang mengalami aphantasia tidak bisa membayangkan akan sesuatu ya Sobat Gembira! Pengidap aphantasia bisa memahami gambaran secara konseptualitas atau berpikir tanpa gambar dan memiliki cara yang berbeda untuk mengimajinasikan suatu objek. Misalnya kalau kita disuruh membayangkan sebuah kursi pasti langsung akan terbayang bentuk kursi itu seperti apa, nah kalau orang dengan aphantasia akan membayangkan secara konseptual, kursi itu sebuah tempat duduk, punya empat kaki penyangga, dan ada sandarannya.

(Aphantasia-LPNC Project, Huson et al., 2022)

Sebenarnya apa sih penyebab Aphantasia?

Penyebab Aphantasia belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor:

  1. Faktor Genetik
    Orang yang terlahir dari keluarga dengan riwayat aphantasia, berisiko lebih tinggi mengalami hal serupa. Jadi kalau keluarga Sobat Gembira ada yang mengalami Aphantasia kemungkinan besar akan menurun dan mengalami aphantasia juga.
  2. Kondisi Kesehatan
    Kondisi kesehatan seperti stroke dan cedera kepala dapat membuat orang mengalami aphantasia. Kecelakaan dan benturan keras di kepala ini dapat menyebabkan cedera otak seperti pada sistem ‘eksekutif’ fronto-pariental dan daerah otak posterior yang berfungsi memungkinkan kita menghasilkan gambar berdasarkan dari pengetahuan yang kita simpan tentang bagimana penampilannya (Zeman, 2015; Ishai, 2010; Bartomelo, 2008; Ishai, et al., 2010).
  3. Kondisi psikologis
    Orang dengan gangguan psikologis seperti depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) dapat mengalami aphantasia. Penelitian mengenai hubungan antara aphantasia dan gangguan psikologis masih terbatas dan sedang dalam pengembangan. Sejauh ini, belum ada penelitian spesifik yang secara definitif menghubungkan kondisi ini. Aphantasia adalah kondisi neurokognitif yang unik, dan meskipun ada beberapa studi yang meneliti aspek emosional dan psikologis terkait aphantasia, hasilnya masih bersifat eksploratif.

Setelah membaca tentang aphantasia, kira-kira Sobat Gembira mengalami hal serupa atau tidak? Tenang Sobat, ini bukan penyakit berbahaya kok melainkan sebuah kondisi tidak bisa menggambarkan sesuatu secara visual. Sobat yang mengalami Aphantasia juga jangan berkecil hati ya ….

Pengidap aphantasia memiliki kelebihan berpikir secara konseptual dengan lebih menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan sisi logikanya untuk memahami ide dan skenario. Konseptualisasi juga berfokus pada ide abstrak daripada hal spesifik yang terlihat (visual). Wah keren ya cara berpikirnya!

Yuk share di kolom komentar pengalaman Sobat dalam “BERIMAJINASI”!

Referensi

Aphantasi Network (2023). The Ball on a Table: How to Tell the Difference Between Visualizers and Conceptualizers. https://aphantasia.com/article/strategies/ball-on-the-table/

Dutta, Nayantara. Time (2022). What It’s Like to Be ‘Mind Blind’. https://time.com/6155443/aphantasia-mind-blind/

Loevenbruck, Helene. Polytechnique Insight (2022). Cognition: Do We All Think In The Same Way? https://www.polytechnique-insights.com/en/columns/society/cognition-do-we-all-think-in-the-same-way/

Bella, Airindya. ALODOKTER (2023). Aphantasia, Kondisi Ketika Seseorang Tidak Bisa Berimajinasi. https://www.alodokter.com/aphantasia-kondisi-ketika-seseorang-tidak-bisa-berimajinasi

Rosa, Nikita. DetikEdu (2024).Mengenal Aphantasia, saat seseornag tidak bisa berimanjinasi. https://time.com/6155443/aphantasia-mind-blind/

Zeman, AZJ, Dewar, MT & Della Sala, S. 2015. Lives without imagery – congenital aphantasia. Cortex, vol. 73, pp. 378-380. https://doi.org/10.1016/j.cortex.2015.05.019

Zeman, et al. (2020). Phantasia–The psychological significance of lifelong visual imagery vividness extremes. Cortex, vol. 130, pp 426-440. https://doi.org/10.1016/j.cortex.2020.04.003