Jumat, 11 Juli 2025

Midnight in Paris: Nostalgia dan Memaknai Harapan

The Best Movie I've Ever Watch?

Sebuah poster Midnight in Paris dan gambar di bawahnya berupa potongan scene, Gill dan temannya dari masa lalu yang tengah menikmati suasana tengah malam di Paris.

Tapi kayaknya agak kecepatan kalau aku bilang ini film terbaik yang aku tonton di sepanjang hidup. Ya masih muda broq, mana tau di masa depan aku ada nonton film bagus lagi. Who knows!

Tapi buat saat ini, 8 menit sebelum ganti tanggal menjadi 11 Juli 2025, Midnight in Paris aku kategorikan sebagai incredible movie yang pernah aku tonton! 

Kalian pernah menonton film karya Yandi Laurens yang berjudul Jatuh Cinta Seperti di Film-Film? At first, I thought I watched the similar plot between those movies. But gratefully, those are different!

Kalau kamu sudah pernah menonton film JCDFF pasti akan teringat bagaimana jalan cerita film tersebut yang menyajikan 'what if' sang tokoh utama punya konflik percintaan dengan teman lamanya--yang mana juga baru saja berduka setelah kematian suaminya. Dalam film itu kita akan mengikuti bayangan 'apa jadinya'. 

Ketika aku menonton film Midnight in Paris ini, ketika sang tokoh utama masuk ke jaman masa lalu (era kejayaan seni di Paris tahun 1920-an), aku juga berpikir bahwa ia mengalami 'what if'. Mungkin gara-gara keobsesiannya dengan 'dunia seniman masa lalu' ia jadi terjebak pada ilusinya sendiri? Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi dengan mentalnya?

Ternyata bukan seperti itu dan ... aku suka tebakanku salah. 

Gill Pender (tokoh utama) punya keobsesian dengan keestetikan Paris berdasarkan kacamata seniman. Kalau pakai kacamata pekerja menengah atau buruh (iykyk) mungkin dia nggak akan melakonlis. Gill membayangkan nikmatnya meniti setiap langkahnya di jalanan Paris, yang mana hal itu bisa menyegarkan otaknya untuk menulis novel. 

Gill bercita-cita menulis novel. Tapi keinginannya terlalu muluk, menulis langsung di Paris biar bisa menikmati suasana lingkungannya. Rancangan novelnya juga sama muluknya. Tokoh pertama diceritakan tengah mengunjungi toko Nostalgia, semacam kedai yang menjual perabot antik. Tapi ternyata kedai itu membawa tokoh tersebut mengunjungi masa lalu, di masa para seniman besar tahun 1920-an. 

Plot novel yang Gill rancang, malah terjadi di kehidupan nyatanya sendiri. Setiap tengah malam di Pari,s keajaiban itu terjadi. Gill berada di dunia yang sama dengan para seniman idolanya. 

But remember, 'it is not what if' but 'it is happen'. 

Aku suka fantasi seperti ini. Tidak bersinggungan dengan 'ketidakmungkinan mengubah takdir' karena ya ... fantasi. Tidak harus masuk akal. Fantasi adalah kebebasan. 

Film ini membuatku berharap, mungkin aku juga bisa pergi ke Kota Strawberry, main dengan Cherry, Nana, Algo, dan Peri Vie. Makan strawberry yang rasanya manis, semanis warna merah. Aku bisa hidup di buku masa kecilku dulu saat umurku masih 7.

Dari berharap, aku jadi memaknai hal itu: pengharapan. Tidak ada yang salah dengan berharap. Semuluk apapun. Kamu bisa melihat sisi dunia yang berbeda dengan berharap. Mungkin lebih dalam lagi, kamu bisa memaknai hidup lebih baik dari sebelumnya. 

Semoga tulisan singkat ini bisa menjelaskan sebagaimana aku suka film ini. Midnight in Paris, cherry-ously amazing!


Senin, 07 Juli 2025

Bukan Buku Anak: Di Tanah Lada

Ketika aku menonton anime Higehirou, aku nggak pernah bertanya-tanya keputusan Yoshida (tokoh pertama) menolong anak sekolah yang lagi kabur dari rumah. Alasannya karena aku 'merasa' sudah diumur dewasa (walaupun baru masuk umur 20-an) jadi aku berpikir ya wajar saja kalau dia menolong anak kecil, kan memang sudah seharusnya tugas orang dewasa melindungi anak kecil?

Kalimatku tadi mungkin kedengaran rancu, tapi intinya begini: aku merasa orang dewasa punya kewajiban untuk melindungi anak kecil. Orang-orang dewasa itu, baik di dunia nyata atau dunia fiksi ketika mereka mau bersusah-payah menyelamatkan anak yang umurnya lebih muda dari dia (meski nggak ada hubungan darah sekalipun) adalah hal yang sah-sah saja dan memang sudah semestinya.

Tapi kayaknya tulisanku malah semakin membingungkan. 

Ini poin utama argumenku : karena anak di bawah umur belum punya kekuatan untuk menghindari lingkungan toxic, pola pikirnya belum matang seperti orang dewasa. Jadi mereka butuh pertolongan dari kita (orang dewasa). 

Lalu hari ini aku membaca buku Di Tanah Lada karya Kak Ziggy (maaf cuma menuliskan nama depan karena ya seperti kalian tau nama beliau panjang sekali) yang bisa aku selesaikan dalam sehari. 2 jam awal setelah pergantian hari, aku berhasil membacanya sampai setengah dan kemudian melanjutkannya pada 3 jam sebelum pergantian hari. Buku itu tamat kubaca beberapa menit menjelang hari berganti. Jadi hitungannya masih dalam sehari kan aku selesai membacanya?

Bukunya sakit. Pembaca dibuat perutnya melilit. Penulisnya? Tebak sendirinya sajalah. Pembaca masih dalam mode marah. Tapi aku ingin menuliskan pesan ke beliau,

Dear Kak Ziggy, 

Sebelumnya maaf karena baru membaca karya masterpiece-mu 10 tahun setelah cetakan pertama. Ceritanya bagus. Sekali. Tapi cara kamu menyiksa tokoh dalam ceritamu itu jahat kak ...

Lalu masuk dalam pikiran anak kecil yang mengalami kehidupan tak layak, aku merasa nggak pantas jadi orang dewasa karena aku membiarkan mereka menjalani kehidupan itu. Padahal ini cuma cerita fiksi ... tapi rasanya aku ada di bagian penderitaan mereka.  

Terdengar terlalu lebay.

Tapi memang ceritanya sakit betulan. Kita akan diajak menyelami cerita dari point of view anak umur 6 tahun, Ava namanya. Walaupun diceritakan dari perspektif anak-anak, tapi buku ini sama sekali nggak masuk kategori buku anak. Buat trauma!

Ava bertemu dan terteman dengan P, sama-sama masih anak kecil tapi umurnya (agak gede sedikit) 10 tahun. Pola pikir dua bocah kematian (kata temanku istilahnya bokem) ini menakutkan tapi sederhana. Mereka cuma tau mana yang baik dan jahat. Walaupun 2 kata itu kelihatannya sederhana, tapi jangan berpikir pengalaman hidup dua bokem sesederhana itu juga. 

Aku jadi berpikir, ternyata dampak sikap orang dewasa menentukan pola pikir anak-anak ya ... juga bagaimana anak-anak itu memandang hidup dan lingkungan sekitarnya (termasuk orang). Dan lagi-lagi, anak-anak belum punya kekuatan buat menghindar ataupun keluar dari lingkungan toxic

Nggak terhitung berapa kali aku bilang "oh my shayla" karena ingin meluk erat-erat dua bokem kesayanganku itu. Tapi di beberapa aku ketawa ngakak karena interaksi polos dan lucu mereka. Terus celotehan bocil masa bisa buat aku sampai baper coba?

Mas Alri aku nggak jadi minta dinikahin sama kamu. Aku tarik kata-kataku pas baca scene manis kamu. Begitupun dengan Kak Suri. Nggak tau ya aku agak kecewa jadinya, soalnya aku juga sudah baca La Petit Prince. Tapi aku tau alasan Pangeran meninggalkan Mawar karena dia mau menumbuhkan lebih besar lagi cintanya untuk Mawar dan siap kembali di waktu yang tepat. Tapi kalian menyia-nyiakan waktu, nggak lebih upaya dari awal!

Kak Ziggy aku nggak jadi minta maaf karena baru membaca karyamu sekarang. Soalnya kalau aku baca di tahun 2015 (kemungkinan aku masih kelas 1 SMP) aku nggak mungkin bisa memahami dengan baik perasaan Ava dan P. Paling kalau aku baca saat itu, aku cuma menangis akhirnya. 

Aku bersyukur bacanya sekarang. Jadi aku bisa melihat sisi dunia yang berbeda dari cerita mereka. Aku juga nggak nangis kok endingnya, karena sudah feeling saja mereka bakal melakukan 'itu'. Hahaha (tertawa menyesakkan). 

Tapi maaf aku bacanya gratisan di App iPusnas, soalnya negara nggak becus buat kebijakan buat harga buku fisik lebih terjangkau. 

Oh iya sampai lupa, buat pembaca tulisanku terima kasih ya sudah membaca sampai akhir. Inti tulisan ini sebenarnya aku mau review buku Di Tanah Lada, juga menyinggung peran orang dewasa ke anak-anak. 

Btw, kalian juga bisa membacanya di iPusnas kalau mau perasaannya jadi naik-turun pas baca buku ini. Aplikasi iPusnas bisa diakses gratis kok. Selamat membaca!

Terakhir, rating sempurna 5/5 untuk cinta-cintaku Ava dan P. Walaupun ending tidak manusiawi untuk kesehatan batin tapi aku tetap suka cerita ini. 


Catatan : Kayaknya efek gaya penceritaan Ava tulisanku jadi ikutan begini hahaha.